web analytics
 

Sejarah Kabupaten Lebak

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN LEBAK

Kabupaten Lebak terletak antara 6º18′-7º00′ Lintang Selatan dan 105º25′-106º30′ Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha (3.044,72 Km²) yang terdiri dari 28 Kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan, Kepadatan penduduk tahun 2008 berjumlah 1.233.905 jiwa.

Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828, terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :

Pembagian Wilayah Kesultanan Banten

Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :

Wilayah Banten Lor

Wilayah Banten Kulon

Wilayah Banten Tengah

Wilayah Banten Kidul

Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.

Pembagian Wilayah Keresidenan Banten Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu :

Kabupaten Serang

Kabupaten Caringin

Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :

District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,

District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.

District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,

District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict Madhoor (Madur).

Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak

Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851. Sebelum Ibukota Kabupaten Lebak berada di Warunggunung Ibukota Kabupaten Lebak terletak di Lebak Parahiang (Leuwidamar) yang pemindahannya dilaksanakan sekitar tahun 1843.

Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak

District Rangkasbitung, meliputi Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan,

Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.

District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.

District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.

District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.

District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.

Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828, diubah menjadi :

Tanggal 14 Agustus 1925

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.

Tanggal 8 Agustus 1950

Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.

Berdasarkan rangkaian sejarah tersebut kami berpendapat bahwa titi mangsa tepat untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Lebak adalah tanggal 2 Desember 1828, dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut :

Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.

Sebelum adanya Staatsblad nomor 81 tahun 1828, selain nama Lebak belum pernah diabadikan batas wilayah untuk Kabupaten yang ada di wilayah Banten karena belum adanya kejelasan yang dapat dijadikan dasar penetapan.

Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828, tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lebak beserta seluruh aparat serta dukungan seluruh masyarakat Kabupaten Lebak melalui wakil-wakilnya di DPRD, telah berhasil menentukan Hari Jadi Kabupaten Lebak dengan lahirnya Keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-II/SK/X/1986, yang memutuskan untuk menerima dan menyetujui bahwa Hari Jadi Kabupaten Lebak jatuh pada tanggal 2 Desember 1828 beserta rancangan peraturan daerahnya.

Kabupaten Lebak yang dibentuk berdasarkan undang-undang No.14 tahun 1950 dipimpin oleh Bupati Tb. Surya Atmaja. Pada masa itu (1950) Kabupaten Lebak terdiri dari empat Kewedanaan, 15 kecamatan, dan 130 desa.

Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh : Raden Bidin Suria Gunawan (tahun 1959-1967), Raden A. Hardiwinangun (tahun 1967-1973), H. Dana Soedarna, S.H. (tahun 1973-1983), H.Oman Sachroni (tahun 1983 – 1988), H. Endang Suwarna (tahun 1988 – 1993), H. Didin Muchjidin(1993-1998), H. Yas’a Mulyadi M.T.P. (1998-2003), H.Mulyadi Jayabaya (2003-sekarang).

Kabupaten lebak sangat terkenal dengan suku adat Baduy dan merupakan kelompok masyarakat adat Sunda yang sampai saat ini masih ketat mengikuti adat Istiadat para leluhurnya. Mereka bukan bukan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Pada saat tertentu, mereka menerima para tamu yang sengaja berkunjung ke wilayahnya, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan pengunjung mentaati adat istiadat yang berlaku, antara lain tidak boleh berfoto diwilayah Baduy dalam, dan tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Demikian pula, pada saat lain mereka berkelana ke suatu kota untuk mencari pengalaman.

Masyarakat Baduy menganut agama Sunda Wiwitan, agama yang dipandang sebagai agama pertama di bumi. Agama Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang, yang perkembangannya di pengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan itu ditunjukkan degan pikukuh atau ketentuann adat yang dianut dalam keseharian orang Baduy.

Stratifikasi sosial di Baduy secara umum tidak berdasarkan pada keturunan melainkan pada status wilayah kemandalaan, yang terbagi atas tiga wilayah pemukiman yaitu wilayah Tangtu, Panamping, dan Dangka. Wilayah Tangtu dan Panamping terletak di Kanekes yaitu tempat bermukim orang-orang Baduy Dalam yang memiliki ciri khas pakaian warna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih, sedangkan Dangka terletak di luar wilayah kanekes yaitu tempat bermukim orang-orang Baduy Luar yang meiliki ciri khas pakaian warna hitam atau biru tua dan ikat kepala biru tua. Orang Baduy Luar ini merupakan masyarakat yang tidak terlalu ketat dengan adat.

Selain masyarakat Baduy, Lebak juga terkenal dengan kasus Max Havelaar adalah karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), terbit pada tahun 1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru.

Di Indonesia, karya ini sangat dihargai karena untuk pertama kalinya inilah karya yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.

Roman ini hanya ditulis oleh Multatuli dalam tempo sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu terbit untuk pertama kalinya.

Hermann Hesse dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda.

Sumber dikutip dari : http://lebakkab.go.id, Buku Sejarah Kabupaten Lebak ditulis oleh Prof. Dr. Hj. Nina H.Lubis M.S.,dkk.
http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Havelaar

«
»
Loading...